Beranda » Ilmu Perpustakaan

Category Archives: Ilmu Perpustakaan

Pustakawan dalam Layanan Rujukan, Antara Ensiklopedi dan Kamus

Pustakawan dalam Layanan Rujukan,

Antara Ensiklopedi dan Kamus

Hendriyanto, SIP.

Hendriyanto, SIP.

Hendriyanto, SIP

 Pustakawan Pertama

Perpustakaan Proklamator Bung Karno

 

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dewasa ini memiliki arti penting bagi lembaga yang bergerak di bidang informasi dan perpustakaan.  Perpustakaan merupakan salah satu lembaga informasi yang bertugas mengumpulkan, menyimpan, mengatur, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat pemakainya (users).

Kalau dahulu perpustakaan identik dengan buku, sekarang sebagai wadah  informasi. Karena itu seorang pustakawan bergeser dari pelayan informasi menjadi  penyedia informasi (information provider).  Kesempatan ini sebenarnya peluang yang harus dijemput oleh pustakawan untuk lebih memaksimalkan dalam mencerdaskan masyarakat pemakai maupun mengambil hati kepada lembaga dalam mewujudkan layanan yang berbasis kepuasan pengguna.

Penyediaan informasi oleh pustakawan tersebut juga harus didukung bahan pustaka sebagai bahan rujukan/referensi untuk memberikan layanan informasi. Bahan rujukan tersebut di antaranya adalah kamus dan ensiklopedi yang keberadaannya di perpustakaan tidak boleh dipinjamkan untuk dibawa pulang. Sebab koleksi tersebut merupakan koleksi rujukan yang keberadaannya harus selalu ada di perpustakaan. Koleksi kamus dan ensiklopedi pada era teknologi informasi sekarang ini mempunyai tantangan yang cukup berat terutama dengan keberadaan internet. Karena kamus dan ensiklopedi online banyak dijumpai di internet yang bisa diakses secara mudah dan cepat oleh pemustaka.


Kamus

Menurut The Shorter Oxford English Dictionary, kamus adalah :

  1. Suatu buku yg memuat kosakata suatu bahasa, sedemikian rupa sehinga memberikan keterangan tentang ejaan, penyebutan, arti, penggunaan, sinonim, turunan, dan sejarah kata, atau paling tidak sebagian keterangan itu. Kosakata disusun dengan suatu cara yang sudah ditetapkan, bisanya menurut abjad.
  2. Suatu bentuk pengembangan dari kamus adalah bahan pustaka yang berisi informasi mengenai suatu subjek atau cabang ilmu pengetahuan tertentu, dimana istilah-istilah yang dijelaskan disusun menurut abjad. (kamus kedokteran, kamus statistik, dll)

 

Kamus = dictionary

Dari bahasa latin dictio = kata/frase

Pada zaman anglo-Saxon, -/+ abad ke-9 à pengumpulan kata-kata untuk membuat semacam kamus dalam bahasa inggris.

Kamus Pertama à A Table Alphabetical, kamus berbahasa inggris pertama diterbitkan Robert Cawdrey tahun 1604.

Tahun 1721 à Universal Etymological Dictionary karya Nathaniel Bailey

Tahun 1755 à Dictionary of the English Language karya Dr. Samuel Johnson

 

–          Fungsi Preskriptif Kamus à fungsi menetapkan arti standar dan penggunaan suatu kata shg orang kemudian menggunakan kata tsb sesuai dgn apa yg didefinisikan dlm kamus. (tujuan)

–          Fungsi Deskriptif Kamus à mengartikan suatu kata sesuai dgn pengertian  dan penggunaan yg berkembang  dan banyak diterapkan dlm masyarakat. (hasil)

 

Jenis Kamus

Ò  Kamus menurut isi

–          Kamus Umum à istilah umum sehari-hari

–          Kamus Khusus à kata2 umum dengan susunan ttt

–          Kamus Subjek à Subjek tertentu

 

Ò  Kamus dari jumlah bahasa

–          Kamus Ekabahasa

–          Kamus Dwibahasa

–          Kamus Anekabahasa

 

Ò  Kamus dari kelengkapannya

–          Kamus singkat

–          Kamus sedang

–          Kamus Lengkap

 

Penggunaan Kamus

  1. Sebagai Alat Rujukan Langsung (Cepat)
  2. Sebagai Standart Pembakuan Bahasa
  3. Sebagai Sarana Bantu untuk Pengkajian Bahasa

 

“Fenomena” Kamus vs pustakawan

–          Terbitnya Kamus Istilah Perpustakaan oleh Lasa Hs.

–          Koleksi kamus di sebagian besar perpustakaan hanya berisi kamus bahasa belum banyak mengoleksi kamus subjek.

–          Dalam era teknologi informasi sekarang banyak pemustaka yang lebih memilih mencari suatu istilah di internet daripada membuka kamus yang ada di perpustakaan.

Fenomana pertama menunjukkan bahwa kalangan pustakawan sudah mampu untuk membuat inovatif dalam rangka pengembangan profesi pustakawan itu sendiri. Karya nyata yang inovatif tersebut adalah sudah diterbitkannya kamus istilah ilmu perpuatakaan yang banyak menjadi acuan di dunia perpustakaan Indonesia. Akan tetapi belum banyak kalangan pustakawan yang mampu untuk menunjukkan karya nyata ini dan menerbitkan suatu karya tulis yang bisa mendukung pengembangan profesi. Keengganan pustakawan untuk ber-inovasi ini dapat diatasi dengan memberikan pembekalan maupun pendidikan tentang teknik penulisan.

Fenomena kedua bahwa koleksi kamus di sebagian besar perpustakaan hanya berisi kamus bahasa belum banyak mengoleksi kamus subjek, karena keterbatasan dana di rata-rata perpustakaan, terutama  perpustakaan sekolah. Hal ini dapat diatasi dengan memaksimalkan kajian pemakai agar bahan pustaka yang akan diadakan benar-benar dibutuhkan oleh pengguna sehingga pendanaan akan bisa diefisiensikan dan bisa dialokasikan guna pembelian bahan pustaka rujukan seperti kamus dan ensiklopedi yang tentunya pembeliannya juga didasarkan pada kebutuhan pengguna.

Fenomena ketiga menggambarkan bahwa pada era kemajuan teknologi pada dewasa ini, pemustaka banyak yang mencari dan menjadikan informasi yang ada di internet sebagai bahan rujukan yang utama dan cepat daripada pemustaka datang ke perpustakaan dan membuka kamus. Fenomena ini memang terjadi akan tetapi pemustaka yang ingin membuat karya ilmiah tetap menggunakan bahan rujukan fisik yang ada di perpustakaan. Menghadapi tantangan teknologi informasi ini perpustakaan harus menyediakan bahan rujukan (kamus dan ensiklopedi) yang lengkap dan update. Jika dilihat dari SDM pustakawannya pada bagian layanan referens ini juga harus pustakawan yang professional dan memiliki pengetahuan yang luas.

—————–

Ensiklopedi

Bahan Rujukan yg berisi informasi atau uraian ringkas namun mendasar tentang berbagai hal atau ilmu pegetahuan, yg biasanya disusun menurut abjad atau secara sistematis subjek tertentu.

Ensiklopedi berasal dari bahasa yunani yg berarti pendidikan dalam lingkungan seni budaya dan ilmu pengetahuan

 

Jenis Ensiklopedi

Ò  Ensiklopedi Umum Nasional

Ò  Ensiklopedi Khusus/Subjek

Ò  Ensiklopedi Internasional

 

Manfaat Ensiklopedi

  1. Sebagai sarana untuk mencari informasi dasar mengenai berbagai masalah;
  2. Sebagai sarana utama dalam langkah awal untuk melakukan suatu kajian mengenai suatu subjek;
  3. Sebagai sarana untuk memeriksa kebenaran suatu informasi;
  4. Sebagai jendela informasi dunia.

 

“Fenomena” ensiklopedi

–          Jarangnya kita temukan pustakawan membuat /menyusun ensiklopedi.

–          Mahalnya koleksi ensiklopedi, koleksi ensiklopedi biasanya tebal dan mahal oleh karena itu pembelian ensiklopedi harus berdasarkan kajian pemustaka agar ensiklopedi yang akan diadakan benar-benar sesuai.

–          Kesadaran Pembuat Keputusan dalam suatu lembaga akan arti penting bahan rujukan seperti ensiklopedi, banyak pimpinan lembaga/institusi tempat perpustakaan bernaung belum tahu akan arti penting koleksi-koleksi tersebut untuk kebutuhan pemustaka.

–          Kurangnya promosi penggunaan ensiklopedi, dalam hal ini metode display koleksi rujukan bisa dilakukan.

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Indonesia. [Undang-Undang, Peraturan, dsb] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan

Pranoto, Agus Sugio. 2005. Pameran Buku di Perpustakaan ITS. Surabaya: ITS

Sudarmini, Euis. Pemasaran Jasa Perpustakaan dan Informasi. Dalam Jurnal Perpustakaan Pertanian. X(1) 2002: 6-7

Sulistyo-Basuki, 1992. Teknik dan Jasa Dokumentasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Khasanah Buku Islam, Kekayaan dan Keragaman

Meniti Sejarah Menuju Kejayaan Islam

Meniti Sejarah Menuju Kejayaan Islam

 

 

 

Latar Belakang

Pada Saat saya memilih topic menarik ini yaitu Khasanah Penerbitan Buku Keislaman di Indonesia, bayangan saya langsung tertuju pada kisah cerita islami yaitu si azzam yang dibintangi oleh Agus Kuncoro, dan si Aya yang dibintangi oleh aktris cantik Zaskia Adya Mecca dalam sinetron besutan Deddy Mizwar yang berjudul “Para Pencari Tuhan” yang sering kita lihat terutama pada saat Bulan Suci Ramadhan, dalam sinetron ini mengisahkan bahwa si Azzam dan Aya mempunyai sebuah usaha bersama yaitu penerbitan buku-buku Islam, dan dari usaha inilah mereka dapat hidup sejahtera dan bahagia, dari kisah tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan penerbit Islam juga turut memperkaya khazanah intelektualitas khalayak Muslim di negeri ini. Sejarah kemunculan dan keberadaan penerbitan literatur Islam di negeri ini membuktikan semua itu. Di Indonesia, perkembangan literatur Islam mulai dirasakan sejak tahun 1970-an. Terkait dengan hal ini, Nurcholish Madjid memandangnya sebagai salah satu konsekuensi dari fenomena lahirnya kaum terpelajar (sarjana) dari kalangan Muslim santri.

Azyumardi Azra memaparkan gejala yang tampak jelas terjadinya pertumbuhan literatur Islam justru di awal 1980-an bahwa perkembangan yang terjadi tidak lepas dari pengaruh revolusi Iran tahun 1979 yang menimbulkan perhatian dan minat masyarakat terhadap Syiah dan cendekiawan Syiah, seperti Ali Syariati dan Syekh Syaid Nasir. Dari minat kepada kedua cendekia tersebut selanjutnya merambah kepada para pemikir Islam yang lainnya. Sementara kegairahan tengah berlangsung, di saat yang bersamaan kegairahan terhadap suasana keislaman pun tengah tumbuh subur di negeri ini. Suasana inilah yang mendorong lahirnya penerbit-penerbit buku Islam, seperti PT. Bulan Bintang, Gema Insani Press, Yayasan Paramadina, Logos Wacana Ilmu,  (yang berada di wilayah DKI Jakarta). Kemudian PT. Al-Ma’arif, CV. Pustaka Salman, PT. Mizan Pustaka, PT Sinar Baru Algensindo, PT. Pustaka Hidayah, PT. Syaamil Cipta Media, PT Mutiara Qalbun Salim (MQS), (yang berada di Wilayah Bandung), serta PT Tiara Wacana Yogya, PT. LKiS Pelangi Aksara, PT Pustaka Pelajar, CV. Qalam, CV. Navila, PT. Ircisod, Ar-Ruzz Media, Pustaka Sufi, Pustaka Anisah, (yang berada di DIY dan Jawa Tengah

Pengertian

Merujuk ke uraian Ignas Kleden tentang penerbit dan penerbitan buku (Taryadi, 1999:92) dalam (Abdullah Fajar, 2006:8), diperoleh pengertian bahwa penerbitan buku adalah seni dan ilmu tentang membuat dan mendistribusikan buku, yang mencakup perjalanan sebuah naskah dari saat mengambil ujud di pikiran pengarang hingga mencapai public dalam bentuk buku. Penerbitan berurusan dengan fungsi-fungsi mereka yang bekerja untuk menciptakan naskah, percetakan serta distribusi buku. Pribadi atau institusi yang merencanakan, mengkoordinasi pekerjaan yang berhubungan dengan berbagai aspek yang berbeda-beda dari usaha itu – penulisan, editing, ilustrasi, percetakan, penjilidan, penggudangan, penjualan, dan pembiayaan pada tahap-tahap yang berbeda selama waktu satu tahun atau lebih – disebut penerbit. Bertitik tolak dari pengertian diatas maka, penerbit buku islam adalah institusi yang mempromotori terwujudnya buku-buku menganai Islam dalam aspeknya yang luas, serta kemudian menyebarluaskannya ke masyarakat pembaca. Dalam perkembangannya, penerbitan menjelma menjadi sebuah industri, karenanya institusi penerbitan buku mengambil bentuk perseroan dagang seperti PT (Perseroan Terbatas) ataupun CV., dalam hal ini, penerbit buku Islam pun telah mengambil bentuk usaha dagang.

Penerbitan di Indonesia

Buku-buku Islam yang diterbitkan di Indonesia tahun 1970-an dan 1980-an tentu memiliki perbedaan. Dari segi tampilan, misalnya, jika buku-buku bertemakan Islam periode 1970-an tampak bercorak klasik, menggunakan kertas koran dan tampilan yang cenderung kurang menarik, terbitan setelah 1980-an tampil berbeda. Buku- buku yang diterbitkan tampak lebih maju, baik dari segi substansi kandungannya, gaya penyajian, maupun artistiknya. Pada periode inilah muncul beberapa penulis muslim lokal, seperti Nurcholish Madjid, M Amien Rais, AM Saefuddin, Jalaluddin Rakhmat, Kuntowijoyo, Harun Nasution, M Dawam Rahardjo, dan M Quraish Shihab.

Haidar Bagir, Direktur Utama PT Mizan Publika, mengatakan bahwa kegairahan baru masyarakat terhadap agama yang dimanifestasikan terhadap buku-buku keagamaan sebenarnya bukan merupakan persoalan baru. Bahkan, menurut Bagir, fenomena ini tidak hanya terjadi pada kalangan Muslim, tetapi sudah menjadi gejala umum. Tahun 1974, misalnya, Alvin Toffler menerbitkan buku yang menjelaskan kegairahan baru orang Amerika terhadap agama, dengan munculnya lebih dari 1.000 paguyuban kultus-kultus.

Di Indonesia, selain munculnya kalangan intelektual santri yang memacu pertumbuhan buku-buku bertemakan Islam, terdapat pula kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat kelas menengah akan makanan rohani. Dari sisi ekonomi, bisa jadi kalangan ini sudah mampu mencapai kemakmuran. Namun, kebahagiaan tampaknya belum melekat sepenuhnya. Kalangan demikian tampaknya mengalami gejala kekosongan spiritual, seperti yang dialami masyarakat negara maju. Ini menjadi salah satu penyebab konsumen terbesar buku-buku Islam berasal dari kalangan menengah yang mengalami kegairahan baru terhadap agama.

Jika dirunut, sejak periode 1980-an peningkatan jumlah penerbitan buku-buku Islam terjadi pada hampir semua disiplin keilmuan, seperti Al Quran dan Hadis, syariah dan fikih, ibadah, kalam dan teologi, tasawuf, pendidikan Islam, sejarah dan biografi, sosial budaya dan pembangunan, politik Islam, ekonomi dan bisnis, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian, dan sebagainya. Namun, melihat kecenderungan buku-buku Islam terlaris, setidaknya dalam dua bidang, yaitu fikih dan tasawuf. (Kompas, 15 November 2003). Menjawab kenyataan ini, Azyumardi mengatakan, banyak kalangan yang memerlukan “kepastian”, terutama dalam dua hal, yaitu: pertama dalam bidang hukum (syariah atau fikih); kedua, dalam bidang batin atau eksoterisme Islam. Fikih dapat memberikan ketenangan kepada Muslim bahwa ia hidup sesuai dengan hukum Allah dan tasawuf memberikan kedamaian dan kesejukan batin. Terlebih, situasi ekonomi sosial dan politik di era reformasi semakin tidak menentu, yang menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian hingga orang mencari kepastian lewat agama. Tidak mengherankan jika kemudian buku-buku tasawuf dan fikih sangat digemari masyarakat.

Dalam buku berjudul Khasanah Islam Indonesia yang ditulis oleh Abdullah Fadjar, dkk menyebutkan bahwa sekuarang-kurangnya dari sekitar 1000 judul buku yang meliputi aneka ragam tema kehidupan, peneliti membuat sejumlah penggolongan besar untuk keperluan penyusunan monografi . Penggolongan ini dalam berbagai hal berbeda dari yang dilakukan para penerbit yang dikunjungi. Adapun penggolongan tersebut adalah :

  1. Buku Doktrin Islam dan pengamalannya, dalam mencari buku-buku ini sangatlah mudah, baik ditoko buku besar maupun kecil, gaya penyajian dalam buku ini pun sangat beragam.
  2. Buku Islam Kajian Ilmu Sosial – Humaniora, dalam perpustakaan kita sering membaca buku-buku yang ditulis oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali, beliau mengutarakan bahwa perlunya ilmu-ilmu social juga melakukan kegiatan-kegiatan riset masalah keagamaan.
  3. Buku Islam Kajian Sains, contoh. Buku berjudul Keruntuhan Teori Evolusi karya Harun Yahya yang meruntuhkan teori Darwin adalah salah satu contoh buku tentang Islam Kajian Sains.
  4. Buku Pemikiran Islam, buku-buku tentang pemikiran Islam karya H. Agus Salim, STA, sampai dengan A. Syafii Maarif mewarnai daripada khasanah buku-buku tetang Pemikiran Islam Ini.
  5. Buku Islam Sufistik atau Esoterik, contoh dari buku ini adalah buku berjudul Dunia Rumi : Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi (2002) yang diterbitkan oleh Pustaka Sufi.
  6. Buku Islam Kajian Wanita dan Gender, buku-buku Islam Agama Ramah Perempuan – Lkis, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif Al-Quran – Paramadina, dll adalah contoh buku-buku tentang hal ini.
  7. Buku Riwayat Islam (tentang kisah, tokoh, dan biografi), sangat banyak buku-buku riwayat Islam mengenai tokoh-tokoh dan biografi, mengingat banyak orang yang bisa dijadikan teladan.
  8. Buku Islam untuk Anak dan Remaja, buku-buku berjudul 10 Kiat mempersiapkan Anak Prasekolah Berpuasa – Ery Soekresno, Oni dan Semut Hitam – Sigit Widiantoro, dll merupakan contoh-contoh buku untuk segmentasi anak dan remaja.
  9. Buku Fiksi Islam, beberapa buku fiksi terkenal Layar terkembang karya STA, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, dll

Masih terkait dengan kategorisasi isi, menurut Azyumardi, secara umum penerbitan buku Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menekankan pada Islam murni berdasarkan Al Quran dan sunah atau yang biasa disebut sebagai Islam Salafis dan Harakah serta kelompok yang bergerak pada wacana atau diskursus, yang kadang disebut sebagai Islam kritis. (Kompas, 15 November 2003)

Pluralisme wacana tampak terlihat jelas dari beberapa penerbit Islam yang sudah lama berdiri di Indonesia, seperti Mizan dan Gema Insani Press (GIP). Di awal 1980-an, misalnya, Mizan menerjemahkan karya-karya dari beberapa pemikir Islam, seperti Hassan Hanafi, Ashgar Ali Engineer, dan Hussein Nasr. Bahkan, Mizan memperkenalkan pemikiran Ali Syari’ati yang fenomenal sebagai arsitek revolusi Islam di Iran. Ali merupakan sosiolog lulusan Perancis yang menyodorkan konsep-konsep perubahan sosial politik pada masa Syah Iran Reza Pahlevi. Pemikiran perubahan sosial yang dilakukan Penerbit Mizan ini diakui pula Haidar Bagir. Bahkan, sejak tahun 2002 Mizan gencar mengeluarkan seri Filsafat Islam yang mengemukakan pemikiran para filsuf Muslim.

Demikian halnya dengan Penerbit Lembaga Kajian Ilmu Sosial (LKiS). Sejak tahun 1993 penerbit yang bermukim di Yogyakarta ini mencoba menyebarkan gagasan pemikiran Islam “kritis”. Direktur LKiS Ahmad Fikri menyebut dengan istilah wacana kiri Islam, Ahmad Fikri mengatakan “bahwa dalam Islam ada spirit tentang teologi pembebasan juga spirit penghormatan pada pluralisme,”. (Kompas, 15 November 2003).

Dinamika kemunculan beberapa penerbitan Islam di awal reformasi menjadi perhatian dari kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Menurut Nong Darol Mahmada, Koordinator JIL, sejak tahun 2001 mereka telah menerbitkan 4 judul buku. Misi JIL adalah melahirkan kembali wacana keislaman yang pluralis, sebagai sanggahan terhadap gerakan Islam keras setelah era Reformasi. Bagi JIL sangat penting untuk mengembangkan pemikiran Islam moderat.

Penerbitan buku merupakan salah satu media untuk mengembangkan wacana yang mereka bangun, dalam hal ini mereka mencoba memberikan alternatif pemikiran Islam dari yang sudah ada. Tema besar yang diusung JIL, yaitu emansipasi perempuan, hak minoritas, politik Islam, kebebasan berekspresi, dan teologi negara sekuler untuk mengantar syariat Islam. Berbeda dengan penerbit di atas, Gema Insani Press (GIP), penerbitan Islam yang mengalami perkembangan usaha tergolong pesat, lebih menekankan kepada Islam yang murni dalam segenap isi buku-buku terbitannya. Ada beragam produk yang diterbitkan GIP. Dari kategori syariah dan ibadah, misalnya, buku-buku terkait dengan pedoman dan tuntunan shalat, puasa, umrah dan haji, hingga doa dan zikir diterbitkan. Sementara GIP pun menerbitkan pula kategori buku-buku akhlak, politik dan ekonomi Islam, biografi tokoh-tokoh Islam, hingga buku-buku karya para pemikir Islam, seperti Amien Rais dan Didin Hafidhuddin.

Sistem Jaringan dan Promosi Peredaran Buku-buku

Ketika buku-buku tersebut selesai diproduksi oleh penerbit, maka untuk sampai ketangan pembaca perlu sistem dan jaringan-jaringan yang ada agar karya tulis Islam tersebut bisa dinikmati, masih dalam buku karya Abdullah Fadjar, dkk. (2006 : 86), sistem dan jaringan tersebut adalah :

  1. Pameran Buku Islam, kegiatan ini merupakan sebuah medium yang dalam pandangan para penerbit dianggap penting dan strategis. Penerbit-penerbit yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) membentuk sebuah Kelompok Kerja (Pokja) Penerbit Buku Agama Islam.Salah satu prakarsa yang diambil olej Pokja itu ialah menyelenggarakan kegiatan Islamic Book Fair.
  1. Peluncuran dan Bedah Buku, Peluncuran Buku Islam bagi sejumlah penerbit, (sering pemrakarsanya penulisnya sendiri), merupakan event penting bahkan dipandang prestisius. Sistem mensosialisasikan buku dengan “launching model” banyak ditempuh oleh beberapa penerbit.
  1. Iklan, Rehal, dan Resensi, Surat kabar dan majalah menjadi media yang lazim digunakan untuk mensosialisasikan kehadiran buku-buku baru dari berbagai penerbit. Di surat kabar atau majalah dapat kita temukan tiga kolom atau rubrik iklan, rehat dan resensi.
  1. Saluran Distribusi, Sistem distribusi harus dibuat secara efektif agar penjualan buku-buku tersebut berjalan dengan lancar. Toko buku disini merupakan organisasi yang penting, selain menjual toko buku diharapkan juga memajang buku, mengumumkan buku baru dalam bentuk pamphlet.
  1. Komunitas Buku, Rumah Baca, dan Perpustakaan, Perpustakaan menjadi jaringan yang sangat penting untuk menyebarkan buku-buku Islam yang sudah diterbitkan agar bisa dinikmati oleh pembaca baik perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan umum, dan perpustakaan masjid.

Penutup

Keragaman dalam fokus kajian buku-buku Islam merupakan hal biasa, seperti juga yang terjadi di negara-negara lain yang berpenduduk Islam mayoritas. Perbedaan pandangan bukan berarti pengotak-ngotakkan, dalam masyarakat pluralistik, seperti Indonesia, semua pandangan menjadi penting untuk mengadopsi perbedaan yang ada. Keragaman wacana akan memperkaya pemikiran yang berkembang di Indonesia. Perkembangan yang ada justru mengisyaratkan semakin terbukanya wacana Islam Indonesia.

Dalam  buku berjudul Khasanah Islam di Indonesia karya Abdullah Fadjar, dkk., terdapat beberapa kesimpulan terkait penerbitan buku di Indonesia, kesimpulan pertama adalah bahwa riset monografi penerbit buku Islam pertama-tama telah membawa ke dunia gambaran mengenai bagaimana usaha umat Islam Indonesia mengelola gagasan dan kegiatan memfiksasi, mendokumentasi dan mendisfusikan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam dalam wujud buku : sebuah artefak budaya yang memiliki nilai cultural dan nilai bisnis sekaligus. Kesimpulan kedua, riset monografi penerbit buku Islam telah mengantarkan kita  ke “jelajah kebudayaan dan peradaban Islam” yang demikian kaya, dengan spectrum yang begitu luas. Kesimpulan yang ketiga, bahwa riset monografi penerbit buku Islam telah membawa ke dunia gambaran mengenai proses pembudayaan Islam serta hasil-hasilnya di Indonesia.

Daftar Pustaka

Abdullah Fadjar. Khasanah Islam Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2006.

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/15/pustaka/688310.htm Sabtu, 15 November 2003

“Pendirian Perpustakaan Kepresidenan Tetap Harus Menjadi Tanggungan Negara”, Paul Permadi (Mantan Deputi dan Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI)

Wawancara dengan Paul Permadi, Mantan Deputi dan Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI

Wawancara dengan Paul Permadi, Mantan Deputi dan Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI

Paul Permadi, mantan Deputi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) ini juga menjadi salah satu penggagas pendirian Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Berikut  petikan wawancara dengan Hendriyanto, SIP. untuk menceritakan awal mula sejarah dan gagasan ke depan tentang pengembangan Perpustakaan Bung Karno:

Sebagai salah satu penggagas ide besar tentang pendirian Perpustakaan Bung Karno, apa yang melatarbelakangi gagasan dan ide tersebut?

Orang itu tidak dapat lepas dari konteks hidup. Saya dulu di Madiun tinggal di rumah kakak yang menjadi basis Partai Nasional Indonesia (PNI). Sehingga, saya dikelilingi oleh markas PNI, contohnya di kala daerah saya menjadi tuan rumah kegiatan PNI, saya yang ketika itu menjadi mahasiswa banyak mendengarkan para pembesar partai berbicara, misalnya Roeslan Abdul Gani; Ali Sastroamijoyo; Muhammad Isnaini; dan lain-lain.

Karena rumah kakak saya merupakan markas PNI, maka saya banyak dipengaruhi oleh PNI. Lalu, sewaktu saya sekolah dasar (SD), bapak saya sering menceritakan bahwa Bung Karno itu tokoh besar dan luar biasa. Jika Bung Karno itu datang, pastilah memakai sepatu dan baju yang bersaku empat, pakai topi dan berjalan-jalan menyapa rakyatnya.

Ayah saya juga bercerita tentang PNI; dan bibi saya adalah anggota DPR wanita pertama dari PNI. Itu juga yang memperkuat perkenalan saya dengan sosok Bung Karno. Dan itu masih didukung dengan banyaknya buku tentang Bung Karno di sekitar saya, terutama tentang Pancasila. Itulah yang melatarbelakangi apa yang saya sampaikan dengan konteks hidup itu tadi.

Ajaibnya, ketika saya bekerja di PNRI, saya ditempatkan di pusat pembinaan. Dari sana saya mengenal istilah presidential library. Jadi, dari segi perkembangan kejiwaan karena kecil di Blitar dan bapak saya adalah pengagum serta pemuja Bung Karno, serta berpadu dengan posisi saya di tempat kerja, kemudian saya berpikir: apa tidak ada perpustakaan yang super special library tentang Bung Karno?

Saya menganggap presidential library adalah  super special library.  Dan karena ketika itu saya masih Deputi PNRI, saya kemudian berpendapat bahwa dapat saja Bung Karno dibuatkan sebuah presidential library, terlebih dasarnya kan kuat: Bung Karno adalah proklamator, salah seorang founding father Indonesia. Dan kemudian ide itu saya “jual” ke DPR, juga didiskusikan dengan Djarot Saiful Hidayat, Wali Kota Blitar saat itu. Alhamdulillah, seperti gayung bersambut; gagasan ini mendapat respon yang baik.

Cerita dari sang penggagas, Paul Permadi

Ada kendala dalam perwujudan ide dan gagasan tersebut?

Kendala waktu itu terkait lokasi. Seperti yang diketahui, Perpustakaan Bung Karno sempat akan ditempatkan di bekas Kantor Kecamatan Kepanjenkidul; lalu gedung PGSD; hingga akhirnya ada hibah dari Pamoe Rahardjo, mantan ajudan Bung Karno, berkaitan dengan sebidang lahan di dekat Makam Bung Karno. Hingga akhirnya, Perpustakaan Bung Karno dapat berdiri dengan megah di lokasinya yang sekarang ini berada.

Ide dasar Perpustakaan Bung Karno itu apakah perpustakaan kepresidenan atau perpustakaan proklamator?

Presidential Library. Dalam ceramah saya tentang presidential library di seratus tahun Bung Karno, saya sebutkan bahwa di Amerika Serikat, yang mendirikan perpustakaan kepresidenan adalah pihak keluarga. Itu karena Amerika Serikat adalah negara kaya. Tetapi, di Indonesia, dana untuk pendirian perpustakaan kepresidenan tetap harus menjadi tanggungan negara; bukan pihak keluarga.

Tentang koleksi yang ada di Perpustakaan Bung Karno?

Tetap harus dikejar koleksi khusus tentang Bung Karno, itu utamanya; tetapi jangan lupa generasi muda dan masyarakat umum yang membutuhkan koleksi-koleksi umum, itu juga penting dan tetap dilayani.

Trik untuk menambah koleksi Bung Karno?

Pertemuan di antara center-center Bung Karno; juga jaringan lembaga/yayasan yang bergerak/bersubyek tentang Bung Karno; dan dikumpulkan, baik itu yang ada di Jakarta; Bengkulu; Surabaya; atau pun dari pulau Bali, diajak berdiskusi tentang apa itu konspektus atau pun kekuatan koleksi masing-masing. Kemudian dibuatkan katalog induk/jaringan, baik secara katalog digital maupun manual.

Selanjutnya, Perpustakaan Bung Karno harus menerbitkan kumpulan katalog induk itu, juga menjadikan Perpustakaan Bung Karno sebagai pusat jaringan tersebut. Dengan kata lain, Perpustakaan Bung Karno yang memegang kendali untuk itu. Menurut saya, koleksi tentang Bung Karno itu banyak, tetapi belum dapat ditemukan secara keseluruhan oleh pengelola Perpustakaan Bung Karno.

Harapan Anda yang belum tercapai di Perpustakaan Bung Karno?

Pengelola Perpustakaan Bung Karno belum melaksanakan dan membuat executive summary untuk disampaikan kepada decision makers. Jadi, sekecil apa pun, menurut pendapat saya, harus ada yang namanya selective dissemination of information  tentang Bung Karno. Untuk itu, Perpustakaan Bung Karno harus memiliki beberapa orang yang menekuni secara khusus tentang perpustakaan dan Bung Karno itu sendiri.

Kemudian disarikan, misalnya Bung Karno dalam bidang ekonomi. Pengelola Perpustakaan Bung Karno harus menyarikannya dan kirim ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sajikanlah teori atau pun ajaran Bung Karno tentang ekonomi itu.

Itu kan dapat Perpustakaan Bung Karno produksi sendiri informasi kilat atau selective dissemination of information tentang Bung Karno atau executive summary untuk dikirimkan kepada mereka-mereka yang menjadi penentu kebijakan, seperti DPR RI.

======

Biodata Singkat

Nama : Drs. Paul Permadi, S.IP.

TTL : Blitar, 16 Juni 1942

Pendidikan
1. TK dan SR Santa Maria, Blitar
2. SMP Johannes Gabriel dan Taman Siswa, Blitar
3. SGA Saint Bernandus, Madiun
4. Universitas Katolik Widya Mandala (Sarjana Muda dan S1)
5. Universitas Indonesia (S1)

Organisasi
1. Sekretaris Senat Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala (1963-1964)
2. Sekretaris IPI DKI Jakarta (1992-1995)
3. Sekretaris Jenderal PP IPI (1995-1998)
4. Ketua I PP IPI (1998-2006)
5. Dewan Pembina PP IPI (2006-2009)

Pekerjaan
1. Koordinator Teknis Katalogisasi dan Klasifikasi Perpusnas RI
2. Kepala Pusat Jasa Perpustakaan Perpusnas RI
3. Deputi I (Pengembangan Bahan Pustaka & Layanan Informasi) Perpusnas RI
4. Pustakawan Utama Perpusnas RI

Istri : Dra. Maria Theresia Ludong, Apt.

Anak :
1. Dr. Ir. Alexander Ludi Epifanijanto
2. Dr. Blasius Lofi Dewanto

“Perpustakaan itu jalan sepi, berliku, dan mendaki”, Wawancara dengan Blasius Sudarsono, MLS (Pustakawan Utama di PDII-LIPI)

Blasius Sudarsono, MLS (Foto diambil oleh Hendriyanto)

Blasius Sudarsono bukanlah sosok yang asing di telinga para pustakawan Indonesia, kiprahnya dalam dunia perpustakaan sudah tidak diragukan lagi, pak Dar panggilan akrab beliau, di sela-sela kunjungannya ke Perpustakaan Bung Karno Blitar menyempatkan diri untuk berbagi pengalaman dan memberikan pandangannya kedepan terkait kemajuan Perpustakaan Proklamator Bung Karno seperti yang dikisahkan kepada Drs. Hartono, SS., M.Hum., dan Hendriyanto, SIP., adapun petikan wawancaranya sebagai berikut :

Motivasi anda berprofesi sebagai pustakawan?

Kebetulan saya ini ingin belajar, dan kebetulan yang menerima saya itu lembaga ilmu pengetahuan, itu kan organisasi elite di Indonesia dan tugasnya kan belajar, kalau dulu saya itu ingin jadi fisikawan, dengan saya di lembaga itu saya akan tahu lebih dahulu, terus saya menjadi pustakawan ditempat itu, tapi saya boleh mengatakan bahwa perpustakaan itu bukan ilmu tetapi adalah art atau seni. Waktu itu kan saya harus menyiapkan computer untuk perpustakaan dan itu the first di Indonesia, itulah ada kebanggaan, saya bangga karena orang-orang kan taunya saya di lembaga Ilmu Pengetahuan, terus juga merencanakan untuk studi ke luar negeri, terus memulai computer pertama di bidang perpustakaan, sehingga ada kebanggan, tetapi saya juga mengkritisi tentang perpustakaan, saya pada waktu itu tidak percaya perpustakaan itu suatu ilmu, dan sewaktu saya harus mengambil magister di luar negeri, saya memilih sekolah yang tidak menyebut dirinya ilmu perpustakaan jadi saya tidak memilih library science tapi saya memilih library studies jadi studi perpustakaan, makanya lebih banyak membahas masalah-masalah computer dan sebagainya.

Pada waktu itu sejauh mana tuntutan teknologi informasi terhadap perpustakaan?

Masih banyak yang menolak, mereka bilang computer itu gak perlu untuk perpustakaan atau belum perlu, waktu itu kami, PDIN sebagai lokomotif teknologi informasi di perpustakaan, dan brain PDIN adalah International Brand, tetapi ya itu, perpustakaan itu “jalan sepi, berliku dan mendaki”.

Tentang Jaringan Informasi Perpustakaan?

Itu yang merintis Ibu Winarti Partaningrat beliau direktur pertama PDIN (Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional), dan Jaringan Informasi itu terjadi tahun 1971, dan sepakat dengan adanya empat jaringan, jadi disamping Perpustakaan Nasional itu ada empat pusat nasional yang dikoordinasikan oleh Perpustakaan Nasional, tetapi jaringan itu kemudian tidak berbekas.

Bagaimana anda melihat Perpustakaan Proklamator Bung Karno?

Perpustakaan Proklamator Bung Karno ide awalnya kan perpustakaan khusus, tentang Bung Karno dan ajaran-ajarannya, tetapi jika sekarang Perpustakaan Proklamator Bung Karno menginginkan sebagai perpustakaan penelitian ya memang benar juga, dan harusnya konsep itulah yang segera dipikirkan karena perpustakaan penelitian itu bisa ada di perpustakaan khusus, perpustakaan umum dan di perpustakaan perguruang tinggi, dan Perpustakaan Proklamator Bung Karno saya yakin mampu.

Untuk memadai Intelektual Masayarakat, apa memungkinkan dibentuk pusat studi, pusat kajian tentang Bung Karno di Perpustakaan Proklamator Bung Karno?

Yang sekarang penting untuk dipersiapkan adalah manusianya terlebih dahulu, manusianya ini mau gak jadi peneliti, mau gak menekuni pekerjaan-pekerjaan di perpustakaan yang saya bilang tadi sepi, berliku dan mendaki, dan penuh dengan pencarian dan penantian, rintangan dan harapan. Dalam perang itu, tidak harus setiap pertempuran itu menang, tetapi pertempuran terakhir harus menang, kan yang penting menang perang bukan menang pertempuran. Nah, kembali lagi pada manusianya, manusianya itu cerdas atau tidak, nah marilah kita belajar.

Segi Infrastruktur atau fasilitas informasi yang harus disiapkan dalam rangka membangun sebuah pusat kajian atau pusat studi tentang Bung Karno di Perpustakaan Proklamator Bung Karno?

Informasi itu ada dimana-mana, anda akses internet saja banyak, proquest dan e-journal yang lain itu kan juga belum dimaksimalkan di Perpustakaan Proklamator Bung Karno, nah itu bisa dimaksimalkan.

Terkait dengan “Riset Library” di Perpustakaan Proklamator Bung Karno?

Karakter riset library ini yang harus kita cari, yang tua-tua ini kan hanya membimbing, anak-anak mudalah yang menemukan, karena kedepan itu adalah keputusan kamu anak muda, seperti di dalam buku yang pernah saya tulis, beri kebebasan pemuda berpikir, dan beri kebebasan mereka menentukan pendapat untuk masa depan, termasuk merancang masa depan.

Dari segi SDM di Perpustakaan Proklamator Bung Karno untuk mempersiapkan Riset Library?

Kalau sekarang ini lebih baik meng-identifikasi yang ada untuk diberi tugas, jangan dulu merekrut baru yang belum punya rasa terhadap lembaga, jadi menata itu dari bawah, dan kalau orang baru langsung direkrut untuk tugas itu bisa ditolak oleh pegawai yang lama.

========

Profil singkat

Nama                    : Blasius Sudarsono, MLS.

Lahir                     : Solo, 02 Februari 1948

Pendidikan         :

– Sarjana Muda Fisika (B.Sc.), FIPA – UGM, Yogyakarta, 1973

– Master of Library Studies (MLS), University of Hawaii, Honolulu, USA, 1979

Pengalaman Kerja

1970 – 1973 Asisten Laboratorium Fisika Dasar UGM.

1973 – 1976 Staf Urusan Servis Teknis PDIN

1976 – 1977 Kepala Urusan Servis Pembaca PDIN

1978 – 1979 Menyelesaikan MLS di Unversity of Hawaii, Honolulu, USA

1979 – 1980 Kepala Urusan Servis Teknis PDIN

1980 – 1987 Kepala Pusat Perpustakaan PDIN

1987 – 1990 Kepala Bidang Sarana Teknis PDII-LIPI

1990 – 2001 Kepala PDII-LIPI

2001 – 2005 Pustakawan Madya PDII-LIPI

2005 – sekarang Pustakawan Utama PDII-LIPI

1980 – sekarang Pengajar tidak tetap pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

2002 – sekarang Pengajar tidak tetap pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pajajaran.

Wawancara dengan Prof. Dr. Sulistyo-Basuki

Wawancara dengan Prof. Sulistyo-Basuki tentang Perpustakaan Proklamator Bung Karno (Foto Niza)

Kiprah sosok Prof. Dr. Sulistyo Basuki dalam dunia pendidikan perpustakaan sudah tidak diragukan lagi, Guru Besar Ilmu Perpustakaan UI ini sudah banyak memberikan konsep tentang keilmuan perpustakaan dalam buku-bukunya yang fenomenal yang menjadi rujukan bagi kalangan akademisi maupun pengelola perpustakaan di Indonesia, di sela-sela beliau memberikan kuliah mahasiswa pascasarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, beliau banyak memberikan pandangannya terkait Perpustakaan Proklamator Bung Karno kepada Hendriyanto, SIP, berikut petikannya :

Pada acara Kajian tentang Perpustakaan Proklamator Bung Karno Prof. Sulistyo Basuki mengatakan bahwa Perpustakaan Bung Karno adalah perpustakaan Multirupa? Apakah multirupa tersebut masih relevan?

Pada saat ini mungkin masih multirupa, karena secara tidak langsung saat ini masih berfungsi sebagai perpustakaan umum, Pemerintah Kota Blitar pun saya rasa masih menganggap demikian, lalu juga masih merangkap museum, jadi karena itu masih multirupa, sehingga yang perlu adalah persepsi Perpustakaan Nasional RI dan persepsi Pemkot Blitar bahwa Perpustakaan Proklamator Bung Karno adalah perpustakaan khusus tentang Bung Karno.

Bagaimana tentang Perpustakaan Proklamator Bung Karno sebagai Pusat Studi Bung Karno?

Bisa saja, asal Perpustakaan Proklamator Bung Karno mempunyai koleksi khusus tentang subjek yang bersangkutan dan itu tidak hanya sebatas koleksi buku tetapi koleksi film, foto,  arsip-arsip dan sebagainya tentang Bung Karno.

Bagaimana tentang Perpustakaan Umum di Kota Blitar?

Kota Blitar itu harus punya perpustakaan umum, boleh saja namanya Perpustakaan Umum Bung Karno, disisi lain Perpustakaan Nasional RI itu punya UPT di Kota Blitar yaitu UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno maka alangkah lebih baiknya UPT ini mengembangkan koleksinya tentang Bung Karno dari berbagai media.

Jika Kota Blitar mendirikan Perpustakaan Umum, bagaimana dengan duplikasi layanan koleksi umum ini?

Nah, lebih baiknya, sebagian koleksi umum yang ada di Perpustakaan Proklamator Bung Karno nantinya diserahkan ke Perpustakaan Umum Kota Blitar, lalu kemudian Perpustakaan Khusus Bung Karno punya visi untuk mengembangkan koleksi tentang Bung Karno ya berarti dikembangkan disitu dengan pusat studi, nah pusat studi berkembang bila ada kajian, ada koleksi dan ada bermacam-macam kegiatan keilmuwan seperti ceramah, seminar, dan sebagainya.

Untuk koleksi hibah dari Yayasan Idayu?

Sebaiknya dijadikan satu dengan koleksi umum sesuai subjeknya.

Saran Prof. Sulistyo Basuki untuk Perpustakaan Proklamator Bung Karno?

Seharusnya semua tulisan tentang Bung Karno harus ada di Perpustakaan Proklamator Bung Karno baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing, semuanya tentang Bung Karno sehingga orang tahu semua koleksi tentang Bung Karno disitu, tetapi kan kenyataannya tidak seperti itu, banyak artikel tentang Bung Karno gak ada, padahal sebagian artikel Bung Karno bisa diunduh dari Internet, selain itu bisa membeli sebagian dari luar negeri, dan membeli itu perlu anggaran.

=====

Profil

Nama              : Prof. Dr. Sulistyo Basuki

TTL                 : Sumbawa, 11 September 1941

Pendidikan               :

  1. Frobel School di Sumbawa Besar (1948)
  2. Sekolah Rakjat di Blitar (1954)
  3. SMP bagian B (Blitar, 1957)
  4. SMA bagian C (Blitar, 1960)

kemudian melanjutkan ke Sekolah Perpustakaan, cikal bakal pendidikan arsiparis di Indonesia.

  1. Gelar Sardjana Muda (Universitas Indonesia, 1963),
  2. Sarjana Sastra (Universitas Indonesia 1974)
  3. Master of Science in Library Science– Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio 44106, USA. 1980
  4. Master of Arts (History) – Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio 44106, USA, 1980
  5. Doctor of Philosophy, Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio 44106, USA, 1984

Diangkat sebagai Professor di Universitas Indonesia pada tahun 1995